Iklan

Jumat, 04 Desember 2015

Santri berkualitas Vs Santri yang cari identitas

image

Apa yang ada di benak anda tentang santri Pondok Pesantren???
Mungkin, anda akan berfikiran seperti saya, santri itu rajin belajar, menghafal dan beribadah serta patuh terhadap pimpinan dan gurunya. Tetapi hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Ponpes D (nama samaran). Kakak senior di Ponpes D menjadi saksi betapa sulitnya mengatur bebarapa santri yang perlu mendapat perlakuan khusus. Untuk pergi sholat Shubuh saja harus di siram air se-ember. Di suruh mengaji ba`da Maghrib malah pergi mandi dan setiap hari ada saja alasan untuk tidak mengaji. Beberapa kali sudah di peringatkan oleh ketua santri, sebut saja ketuanya adalah si Fauzy. Fauzy bahkan sempat memanggil santri-santri yang perlu pembinaan khusus ini di masjid dan di temani oleh guru Ekonomi yang pada waktu itu berada di Ponpes, maklum saja Ponpes D baru saja membuka pendidikan formal setingkat SLTA pada 2011 yang lalu dengan nama Madrasah Aliyah. 

Dalam forum itu dijelaskan bahwa seorang santri seperti mereka sebetulnya punya potensi dan kelebihan masing-masing dan tidak perlu melanggar peraturan yang sebetulnya memang sudah dituliskan semenjak pelantikan Ketua Santri 3 bulan yang lalu, dan terungkap beberapa alasan dari mereka mengapa mereka bisa melakukan pelanggaran secara berulang.

Dari forum itu terekam jelas bahwa diantara mereka memiliki alasan yang cukup spesifik:
1. Tidak betah
2. Ponpes tidak memiliki fasilitas yang memadai
3. Memiliki kebiasaan buruk di rumah yang dilakukan di Ponpes
4. Dibanding-bandingkan oleh guru dengan saudara yang bisa menjawab tes lisan
5. Tidak ada hiburan
6. Belum berubah dari kebiasaan lama 

Dari keenam alasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa beberapa santri ini ada masalah dalam perilaku dan kebiasaan mereka, ada beberapa sikap mereka yang harus di rubah dan memang harus bebenah supaya ada perubahan ke pada yang lebih baik dan positif.

Sehingga dari penjelasan di atas timbul adanya santri yang berkualitas dan Santri yang cari identitas.
Mengapa hal ini terjadi??? karena Kedewasaan
Kedewasaan muncul ketika seseorang dihadapkan pada suatu masalah dan dia tahu bagaimana menghadapinya maka jadilah dia Santri yang berkualitas, lain halnya dengan santri yang cari identitas, dia sibuk mencari sesuatu yang menurut dia penting namun melupakan tujuan awal pergi ke pondok. Dalam hal ini penulis berkesimpulan bahwa santri itu ada yang berkualitas dan ada pula yang cari identitas.

Menyikapi hal ini ada ayat Al-Qur`an yang berbicara tentang perubahan Allah Ta’ala berfirman :

إنَّ اللهَ لا يُغَيّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّى يُغَيّرُوْا مَا بِأنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’ad ayat 11)

Ayat ini merupakan salah satu dari sekian ayat yang sering dijadikan dalil untuk sesuatu yang tidak dimaksudkan maknanya oleh Allah Ta’ala. Ditempatkan pada yang bukan tempatnya. Yaitu ketika ayat ini disampaikan dalam bentuk anjuran untuk melakukan sebuah perubahan, bahwa perubahan itu harus dimulai dari diri manusia itu sendiri kemudian perubahan akan datang dari Allah Ta’ala untuk mereka. Sering disebutkan oleh para da’i bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum yang ditimpa kelemahan, kehinaan, perpecahan dan dikuasai musuh sampai mereka mau merubah apa yang ada dalam diri mereka berupa penyimpangan dalam syariat dan pembangkangan kepada Allah. Sehingga makna yang dipahami dari penjelasan mereka adalah bahwa perubahan itu adalah perubahan kepada yang lebih baik dari yang tadinya berupa keburukan dan kehinaan.

Ayat ini, tidaklah seperti yang sering kita dengarkan dari ungkapan para da’i tersebut. Bukan juga makna itu yang diinginkan Allah Ta’ala. Semua ulama tafsir menyebutkan makna yang berbeda dari ungkapan tersebut. Tidak pernah ada yang mengisyaratkan kepada makna itu kecuali Imam Ibnu Katsir rahimahullahu ketika ia menyebutkan sebuah hadits dalam pembahasan ayat ini. Hadits yang diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, Ibnu Katsir berkata setelah menyebutkan hadits itu, “Hadits ini gharib, dan dalam sanadnya ada rawi yang tidak aku kenali.” (III/504)

Imam ath-Thabari dalam Jâmi’ al-Bayân (XIII/81) menyebutkan bahwa makna ayat ini : “Allah tidak akan mencabut kenikmatan atau keafiatan yang Dia anugerahkan hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka berupa ketaatan kepada Allah.”

Mudah-mudahan dengan adanya pengalaman ini menjadi batu pemantik semangat bagi para santri yang belajar di Pondok dan tetap istiqomah dalam belajar.

Wallahu a`lam bishawab........

(Ditulis oleh Yadi Suryadi)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar